Selasa, 27 November 2012

Kisah Pemulung Berkurban 2 ekor kambing


Feature

ini merupakan kisah dari sepasang suami istri Maman dan Yati pemulung yang mampu berkorban 2 ekor kambing meskipun bukan dari keluarga yang ekonominya berkecukupan. Namun dengan tekad dan niat yang kuat akhirnya mimpinya dapat terpenuhi.
Yati lahir dipasuruan datang ke Jakarta  tahun 1965. Bermula dari ketidaksengajaan ,saat tertidur di gerbong kereta hingga sampai di Stasiun kereta Pasar Turi. Dirinya pun sudah tidak ingat dirinya berehnti di stasiun apa saat sampai di ibu kota.
Sesampainya di Jakarta , Yati yang saat itu masih remaja bingung harus tinggal dan tidur dimana , hingga ia memutuskan untuk tidur dimana saja . Perempuan yang sudah berulang kali pindah tempat tinggal itu menceritakan, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, dirinya bekerja sebagai pemungut puntung rokok.
Yati yang tidak mengetahui pasti berapa jumlah saudaranya menceritakan, sejak lahir, dia sudah dititipkan orangtua kandungnya kepada orangtua lain. 

Bertekad Menabung 3 Tahun untuk Beli Hewan Qurban
Yati(55) menyerahkan kambing beberapa waktu yang lalu. Ia yang sudah menabung susah payah untuk berqurban. Wanita yang berprofesi sebagai pemulung ini mengaku sempat ditertawakan saat bercerita seputar niatnya untuk berqurban.

Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan kurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berqurban tahun ini.

Yati dan suaminya Maman (35 tahun) sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp 25 ribu per hari. Kadang untuk menambah penghasilan, Maman ikut menarik sampah di sekitar Tebet. Tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta. Dua kambing ini disumbangkan ke masjid.

Yati membeli dua kambing itu di Pancoran. Maman yang mengambil dua kambing itu dengan Bajaj dan memberikannya ke panitia kurban di Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan.

Man Jadda Wajada 
 
Pasangan suami istri ini tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Tak ada barang berharga di pondok 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.

Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berkurban. Yati mengaku sudah seumur hidup ingin berkurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging. Keinginan ini terus menguat, saat Bulan Ramadan. Yati makin giat menabung.

Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.

Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.
Seorang penjaga masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berkurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.

Perjalan hidup seseorang memang tidak pernah ada yang tahu. Begitu pun perjalan hidup wanita yang biasa disebut  Emak Yati (60) ini, pemulung yang pada Idul Adha kemarin berkurban dua ekor kambing
Kini, setelah lebih dari 47 tahun merantau di Jakarta, Emak Yati berencana pulang ke kampungnya setelah Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri berjanji akan membuatkannya rumah di kampung.
Man jadda wajada- “siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil”

OPINI :IR. SOEKARNO


Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,Ir. Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir. Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
Bung Karno tidak pernah usai untuk belajar, sejak muda sampai akhir hayat selalu berfikir cara untuk lebih mensejahterakan rakyat dan membangun tatanan keadilan buat semua umat manusia. Perjuangannya tidak pernah usai bahkan ajarannya sampai saat ini tetap hidup dan dipelajari dan dikaji.
Bung Karno memberikan nilai tambah yang sangat besar buat arti Kemerdekaan dan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari bangsa lain. Nilai-nilai ajarannya masih up to date sampai saat ini.
Sebagai founding father atau bapak bangsa, Soekarno bersama dengan bapak-bapak bangsa Indonesia seperjuangan lain telah mengantarkan  bangsa Indonesia dalam masa kemerdekaan dengan perjuangan tenaga, harta benda dan nyawa secara ikhlas dan tulus uberjuang tanpa pamrih untuk kehidupan yang lebih baik buat seluruh bangsa Indonesia. Bukankah kita akan malu jika berjuang dengan berhitung untung rugi dan hanya mementingkan diri sendiri ?
Tetap ada bapak-bapak bangsa dan pemuda-pemuda yang berjuang demi nilai-nilai yang luhur, berkeadilan, berkemanusaian, permufakatan dan demi kesejahteraan dan kesetaraan seluruh masyarakat dunia yang akan lahir dari bumi pertiwi ini. Mereka akan lahir dan berjuang untuk kehidupan lebih baik buat bangsa Indonesia dan dunia. Perjuangan belum usai dan tidak ada kata menyerah.
Akan lahir pemuda, pemudi, bapak, ibu yang penuh perjuangan mengisi kemerdekaan ini baik untuk bangsa Indonesia maupun untuk kemanusiaan secara universal. Soekarno adalah salah seorang yang memberikan tonggak, dan akan ada soekarno-soekarno lain yang kan memberikan tonggak lagi untuk kehidupan lebih baik di masa depan.
Mari berjuang terus bergandengan tangan dan jangan menyerah

Sabtu, 20 Oktober 2012

KODE ETIK JURNALISTIK


Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi  atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

sumber :http://www.google.co.id/

Minggu, 14 Oktober 2012

Lagi, Seorang Pengendara Mobil Menabrak Pengguna Jalan


JAKARTA - Novi Amalia (25), seorang perempuan diduga memakai Narkoba dan stres yang mengendarai mobil Honda Jazz bernopol B 1864 POP menabrak tujuh orang di wilayah Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (11/10/2012) ternyata saat mengendarai mobil tidak mengenakan pakaian.

"Sepertinya dia stres. Karena pas menabrak dia tidak pakai baju, hanya daleman. Pas disuruh pakai baju juga tidak mau," jelas Kanit Laka Lantas Polres Jakbar, AKP Rahmat Dalizar.
Rahmat menuturkan, mobil yang dikendarai Novi berjalan dari arah kota. Lalu saat di Hayam Wuruk dan sampai di jembatan Ketapang mobil tersebut berputar arah.
Di simpang traffic light Ketapang, Novi sempat berhenti, lalu menabrak pengguna jalan di sepanjang Jl. Gajah Mada hingga Olimo.
Sebelumnya Novi yang merupakan warga Jalan Masda, Penjaringan, Jakarta Utara ini juga pernah menabrak menggunakan mobil CRV dua bulan lalu.

"Dia (Novi) sempat berhenti, lalu menabrak seorang tukang somay, tukang kopi sepeda. Dan polisi yang ingin menolong kedua korban itu juga ditabrak," singkat Rahmat.
Setelah menabrak polisi atas nama Aiptu Sugiyanto, mobil yang dikendarai Novi menabrak sebuah mikrolet M12 jurusan Senen-Kota di jalan Ketapang.
Mobil terus melaju hingga Olimo dan menabrak beberapa pengendara jalan hingga korban berjumlah tujuh orang mengalami luka ringan.

Novi sendiri akhirnya berhasil dihentikan di simpang traffic light Olimo saat dikejar oleh polisi dan beberapa warga yang emosi karena Novi menabrak tujuh orang dan kabur.
Saat ini Novi sudah diamankan di Polsek Tamansari untuk diminta keterangan. Di Polsek sendiri, Novi selalu mengamuk dan berteriak.
Petugas akhirnya membawa Novi ke rumah sakit Husada untuk diperiksa lebih lanjut.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Sejarah Jurnalistik


Berdasarkan catatan sejarah jurnalistik, awal mula lahirnya jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun silam. Saat itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di ibukota. Inilah yang menjadi dasar konsep jurnalistik, yaitu menyampaikan berbagai pesan, informasi, atau berita.

A. Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang disebut Diurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita tentang Senat.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa papan tulis pada masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.


Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja, tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik. Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu, karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada masa itu jurnalistik menghilang.
Surat kabar pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar ini milik pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai informasi dari Istana.
Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, padi 1605, Abraham Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak Nieuwe Tihdininghen. Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9 hari sekali.
Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama Coyrante uytItalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Perancis tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar pertama di Inggris yang terbit tahun 1662.


Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang berjudul “The Right of Man”. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal mengantikan sistem pers otoriter.

Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.

B. Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran” ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sekarang, perkembangan dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet. Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media cetak.
Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif sampai sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. 


Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.


Teknologi Dalam Jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.

Pada Tahun 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.


Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.


Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara maju seperti AS, Prancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi– sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh, selang sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu aliran listrik dan telefon belum tersambung. (Zaky/”PR”).



C. Masa Perkembangan Jurnalistik
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya ”Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).

Pada Abad ke18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perpecahan antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional,dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di Negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursuskursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsepkonsep seperti pemberitaan yang tidak biasa dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.


sumber: http://www.google.co.id/

Minggu, 08 Januari 2012

Kerukunan Antar Umat Beragama

Ini merupakan kondisi sosial yang memungkinkan semua golongan agama bisa hidup bersama-sama tanpa mengurangi hak azasi masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Konsep hidup beragama yang digunakan pemerintah mencakup tiga kerukunan, yakni kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
 
Konsep kerukunan antar umat beragama muncul dengan latar belakang beberapa peristiwa yang menimbulkan konflik antar umat beragama. Berbagai peristiwa konflik muncul pada tahun 1960-an, seperti pendirian gereja oleh umat Kristen di perkampungan miskin di Meulaboh, Aceh Barat.
Banyak kasus lain yang menyulut konflik antara umat Islam dan Kristen, seperti peristiwa di Slipi (Jakarta Barat), di Pulau Banyak (Jakarta), peristiwa Manado, peristiwa Flores, peristiwa Donggo (Kabupaten Bima), dan banyak lagi.
Dari kejadian-kejadian tersebut, pemerintah mengambil inisiatif agar diadakan musyawarah antar agama yang dilaksanakan pada tanggal 30 Nopember 1967. Dalam kesempatan ini, Presiden Soeharto menyatakan, ”Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui, bahwa musyawarah antar agama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di beberapa daerah yang mengarah pada pertentangan agama.”
Musyawarah antar agama ini dihadiri oleh pemuka agama Islam, Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. Dalam musyawarah itu, pemerintah mengusulkan dibentuknya Badan Konsultasi Antar Agama dan ditandatangani bersama suatu piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.”
Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah tidak dapat menyepakati penandatangangan piagam yang telah diusulkan pemerintah. Pihak Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil.
Sekalipun begitu, pemerintah mulai tingkat pusat hingga daerah, terus berusaha menumbuhkan saling pengertian atau kerukunan antar umat beragama dan melaukan dialog antar agama yang disponsori Departemen Agama (Depag).

Setelah melalui proses panjang, maka melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 35/1980 tanggal 30 Juni 1980, dibentuklah forum Konsultasi Antar Umat Beragama yang bernama ‘Wadah Musyawarah Umat Beragama’. Keanggotaan wadah ini antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi)

Kerukunan Umat

Melalui berbagai forum yang digelar dalam rangka untuk menjaga relasi harmonis antara elemen umat beragama, maka secara realistis akan dapat membentuk kerukunan antar umat beragama. Kenyataan secara empiris menunjukkan bahwa cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memberikan semangat dan dapat menjadi model bagi kerukunan umat beragama tentunya bukan hanya pepesan kosong. Hal ini sudah membumi. Oleh karena itu, koeksisteni harmonis yang telah terajut di dalam kehidupan masyarakat tentunya harus terus dipelihara. Jangan sampai keinginan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama atau lainnya dapat mengoyak kerukunan yang telah terbina.

Kerukunan umat beragama hakikatnya merupakan inti pembangunan masyarakat. Melalui kerukunan umat beragama ini, maka segala hal yang terkait dengan pembangunan masyarakat akan dapat dilakukan. Secara empiris, bahwa masyarakat Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang sangat panjang dalam merenda kerukunan umat beragama. Modalitas sejarah ini tentunya harus dipertahankan di dalam kerangka untuk membangun masyarakat yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.

Pada era reformasi di mana kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi sedang menuai masa kejayaannya, maka jangan sampai hal tersebut akan menjadikan Indonesia terpecah atau tersegmentasi yang disebabkan oleh menguatnya kepentingan masing-masing kelompok. Islam moderat atau Islam yang menawarkan keselamatan bagi semua kiranya merupakan prototipe bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa yang akan datang.


2011 masih sangat segar, namun terasa membosankan karena selama ini kita disuguhi dengan berbagai macam berita lama. Mulai dari Century yang makin kabur, GayusGate yang menginjak Hukum, sampai TKI yang terkatung-katung. Berita-berita itu menjejali layar kaca tanpa henti, namun herannya, masih saja bikin penasaran meski ujung-ujungnya pasti berakhir kekecewaan, bahkan kadang juga kemarahan.

Nah, baru-baru ini ada berita baru yang tidak kalah membosankan (baca: menyedihkan) dengan berita di atas, yaitu kekerasan berdalih Agama. Kekerasan berdalih Agama sering dihubungkan dengan Ormas tertentu. Sering pula disimpulkan sebagai sarana pengalihan Isu, karena kemunculannya sering bertepatan dengan kasus-kasus besar yang menyenggol kalangan Elit Politik.

Di luar benar atau tidaknya ada yang bermain di balik kasus bentrokan atau kekerasan bermotif Agama ini, kita akan coba uraikan permasalahan yang sering terjadi selama ini. Yuk kita mulai,


1. Rakyat yang menyukai kekerasan
Patut diakui. Semakin hari, rakyat Indonesia semakin sering melakukan kekerasan. Mulai dari Supporter Sepak Bola yang tawuran, Pemain Bola mengeroyok Wasit, Pencinta musik ricuh di tengah Konser, SATPOL PP memberangus Pedagang ‘liar’, sampai Anggota Dewan yang terhormat dan beretika alias Wakil Rakyat gak mau kalah dengan cara adu jotos di ruang Sidang. so sweet banget kan? :D Jadi, terbukti bahwa kekerasan adalah watak sebagian kecil rakyat Indonesia. Itu pun terjadi pada kasus kekerasan dengan dalih Agama, contohnya kasus Cikeusik.


2. Kurangnya Ketegasan Dalam Penegakan Hukum
Sejauh yang bisa kita amati, penegakan hukum di Negara kita yang tercinta ini masih belum cukup baik. Kasus-kasus besar hanya jadi ajang kampanye dan berujung tanpa kepastian. Orang yang mencuri karena kelaparan langsung dijeblos ke Jeruji, sedangkan Orang yang mencuri untuk menumpuk uang justru dibiarkan pergi ke Bali. Lagi-lagi so sweet banget kan? :)
Nah, dalam kasus kekerasan berdalih Agama, Penegak Hukum seringkali juga tidak bertindak tegas. Entah karena yang terlibat adalah massa yang sangat banyak, hingga sulit memenjarakan semuanya -ingat penjara kita kan sudah sempit loh-. Atau entah kenapa. Yang pasti semua orang yang terlibat bisa bebas dalam waktu yang singkat. Mungkin ada ..Someone dibalik this case.. tuh kan! Lagi-lagi muncul Prasangka bahwa ada yang bermain di balik semua ini, kita sudah janji lohgak akan bahas itu. :D Tapi memang bisa jadi kekerasan itu dipelihara agar suatu saat bisa dimunculkan untuk menutupi kasus-kasus fenomenal lainnya. Ih, udah ah, jangan buruk sangka. Kita bicara tentang yang terlihat aja oke?


3. Terkikisnya Cinta dan Rasa sebagai Indonesia
Ini yang paling penting! Rasa Cinta kita terhadap persatuan Indonesia justru sudah mulai pudar. Sesama Indonesia saling lempar batu, baku hantam, sampai tega membunuh pula. Jika saja rasa persaudaraan kita masih lekat, maka kekerasan bisa dihindari. Sebesar apapun perbedaan yang ada, maka akan kalah oleh pesona kasih sayang. Sebesar apapun rasa geram kita, maka cara paling kasar adalah sebuah teguran. Karena yang paling berhak untuk menghukum adalah Penegak hukum, bukan Ormas atau segelintir orang.


4. Lidah Salah Tempat
Posisi MUI, Pemerintah, Aktivis HAM dalam contoh kasus Ahmadiyah.
a. MUI sudah tepat dalam posisinya. Sebagai lembaga tertinggi pembuat Fatwa. Di dalamnya ada Ulama-ulama yang tidak diragukan kemampuan Ilmu Agamanya. Karenanya Fatwa yang menghakimi bahwa Ahmadiyah Sesat dan menyesatkan harus diterima oleh seluruh Umat Islam, jangan kita sangka seakan-akan kita lebih mengerti dari mereka -Baca Qur’an saja masih belepotan plus gak tahu arti, bisa-bisanya tidak setuju dengan Fatwa MUI-. Sikap itu tidak benar kawan!
Para Ulama adalah kepanjangan tangan Nabi, Ilmu agama turun-temurun hingga sampai pada mereka. Lalu ada yang protes “Tapi kan mereka juga manusia!! Bisa aja salah!”, iya, mereka manusia, dan mereka itu lebih baik dari kita. :)

b. Pemerintah sebagai pembuat Solusi
Pemanasan: Negara kita Indonesia, lalu ada segolongan orang yang mengaku Indonesia juga, tanahnya sama, benderanya sama, tapi Presidennya bukan SBY, terus dasar hukumnya bukan UUD, apa mereka masih Indonesia? tentu bukan. Itulah Ahmadiyah, punya Pegangan selain Al-Qur’an dan punya Nabi setelah Nabi Muhammad, maka banyak umat Islam yang tidak setuju mereka disebut Islam.

Dari kasus Ahmadiyah ini peranan Pemerintah ada pada pembuatan SKB 3 Menteri. Sudah sangat tepat meski kurang sosialisasi, hingga banyak masyarakat yang tidak tahu. Nah, Peranan pemerintah ini harusnya bisa lebih dari itu. Dari Fatwa MUI tadi Pemerintah harusnya bisa mengambil jalan yang terbaik. Contohnya seperti yang sering kita dengar dan lihat di TV, yaitu jadikan Ahmadiyah sebagai agama baru, atau bubarkan saja. Lalu ada yang bertanya “Kenapa harus sperti itu? kan gak adil buat Ahmadiyah!”, Konflik ini akan berkelanjutan jika hanya mengandalkan selogan “Kebebasan Beragama”, karena Ahmadiyah itu seperti satu tubuh padahal tidak (lebih jelasnya ada di paragraf atas itu). Atau jika Pemerintah ingin mengacuhkan Fatwa MUI, maka Pemerintah punya pilihan lain, yaitu membubarkan MUI dan keberadaan Umat Islam yang tidak setuju dengan Ahmadiyah. Dan tentunya itu akan membuat masalah makin kompleks.

c. Aktivis HAM
Nah, yang satu ini harusnya tetap Fokus pada pelanggaran yang terjadi, bukan pada penghukuman sebuah aliran. Banyak Aktivis HAM yang berpendapat bahwa “Semua orang berhak beragama tanpa paksaan, sesat atau tidak itu hanya Tuhan yang berhak menghakimi.” Tapi mereka tidak melihat dari sisi lain, bahwa “Semua orang juga berhak atas kebenaran Agamanya, dan berhak untuk menjalankannya.” Implikasi dari kalimat yang ke-dua adalah; umat Islam -dalam hal ini adalah kewajiban MUI- berhak untuk menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, dan Umat Islam berhak pula untuk geram (Tapi tidak berhak berbuat anarkis loh!). Jadi, harusnya, Aktivis HAM itu melindungi hak setiap warga untuk memeluk sebuah agama tanpa merusak Agama lain, karena semua agama harus dilindungi. Toeng! itu baru wokeh! :)

Baik MUI, Pemerintah, ataupun Aktivis HAM, baiknya lebih bijak dalam berkata. Jangan sampai Pemerintah menghakimi Ahmadiyah itu sesat, karena itu tugas MUI, dan MUI yang paling punya kapasitas. Jangan pula MUI berkata akan membubarkan Ahmadiyah, karena yang bertindak itu bagian Pemerintah. Nah yang terakhir, aktivis HAM jangan menghakimi sesat, juga jangan membela kebebasan yang justru melukai kebebasan orang lain.


5. Kurang Saling Kenal
Fanatisme dan kebencian yang terpendam seringkali membuat sebuah latupan menjadi Bom super Dahsyat. Di lidah kita sering berkata cinta, tapi hati berlaku sebaliknya. Nah, harus kita akui, ada dua Umat beragama yang paling sering cek-cok di Negara kita tercinta ini. Yaitu Umat Agama Kristen dengan Muslim.
Banyak Muslim yang membenci Kristiani karena ada segolongan umat kristen yang sering disebut ‘Misionaris’ menyerang Muslim yang lemah dengan segala cara agar masuk Iman Kristen. Umat Islam sangat tidak suka hal ini, karena rasa cinta mereka pada saudara mereka yang seiman. Kebencian mereka sering terpendam dan berbahaya. Padahal hal itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil Umat Kristen. di sinilah pentingnya untuk saling kenal.

Banyak Umat Kristen yang membenci Umat Islam karena segolongan Fundamentalis, yang memperjuangkan Negara Islam dan seakan tidak mengakui sumbangsih dan keberadaan Umat Kristen di Bangsa ini. Ada pula yang membenci Islam karena Umat Islam sering tidak menghargai saudara-saudara mereka yang lain. Padahal hal itu hanya dilakukan oleh segelintir Muslim, tidak semuanya. Di sinilah fungsinya saling kenal. Agar Negara kesatuan ini tidak terpecah menjadi dua blok yang bersebrangan hanya karena segelintir orang yang bermusuhan.

Kita harus mulai Dewasa dan sadar, kita ini beragama dan kita ini Indonesia! Biarkan perbedaan itu hadir, namun biarkan pula cinta kita tumbuh. Silahkan berkebebasan dalam beragama, tapi pastikan tidak mengganggu Agama orang lain. Karena dalam kebeasan yang paling bebas pun pasti ada batasan selama kita tidak hidup sendirian. :)

Mungkin itu sedikit gambaran yang bisa kita dapat dari kerukunan antar Umat Beragama yang ada di Indonesia. 2011 ini semoga jadi tahun yang panjang nan penuh perdamaian. Century dan Gayus semoga segera menemui ending yang happy. :)