Berdasarkan catatan sejarah jurnalistik, awal mula lahirnya
jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun silam. Saat itu Firaun, Amenhotep III,
di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di
berbagai provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di ibukota. Inilah yang
menjadi dasar konsep jurnalistik, yaitu menyampaikan berbagai pesan, informasi,
atau berita.
A. Menurut Onong Uchjana Effendy, kegiatan jurnalistik sudah berlangsung sangat
tua, dimulai zaman Romawi Kuno ketika Julius Caesar berkuasa. Waktu itu ia
mengeluarkan peraturan agar kegiatan-kegiatan Senat setiap hari diumumkan
kepada khalayak dengan ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut
dengan Acta Diurna.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para
“Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang
hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan
tanah dan para hartawan.
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni
kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi
ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang
berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul
kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Pada waktu itu pembaca yang datang kepada media berita tersebut. Sebagian
khalayak yang merupakan tuan tanah/hartawan yang ingin mengetahui informasi
menyuruh budak-budaknya yang bisa membaca dan menulis untuk mencatat segala
sesuatu yang terdapat pada Acta Diurna. Dengan perantaraan para pencatat yang
disebut Diurnarii para tuan tanah dan hartawan tadi mendapatkan berita-berita
tentang Senat.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya.
Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian
sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan
diketahui rakyatnya, dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berupa
papan tulis pada masa itu. (60 SM) dikenal dengan acta diurna dan diletakkan di
Forum Romanum (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum. Terhadap isi acta
diurna tersebut setiap orang boleh membacanya, bahkan juga boleh mengutipnya
untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan ke tempat lain.
Perkembangan selanjutnya pada Diurnarii tidak terbatas kepada para budak saja,
tetapi juga orang bebas yang ingin menjual catatan harian kepada siapa saja
yang memerlukannya. Beritanya pun bukan saja kegiatan senat, tetapi juga
hal-hal yang menyangkut kepentingan umum dan menarik khalayak. Akibatnya
terjadilah persaingan di antara Diurnarii untuk mencari berita dengan
menelusuri kota Roma, bahkan sampai keluar kota itu.
Persaingan itu kemudian menimbulkan korban pertama dalam sejarah jurnalistik.
Seorang Diurnarii bernama Julius Rusticus dihukum gantung atas tuduhan
menyiarkan berita yang belum boleh disiarkan (masih rahasia). Pada kasus itu
terlihat bahwa kegiatan jurnalistik di zaman Romawi Kuno hanya mengelola
hal-hal yang sifatnya informasi saja.
Tetapi kegiatan jurnalistik tidak terus berkembang sejak zaman Romawi itu,
karena setelah Kerajaan Romawi runtuh, kegiatan jurnalistik sempat mengalami
kevakuman, terutama ketika Eropa masih dalam masa kegelapan (dark ages). Pada
masa itu jurnalistik menghilang.
Surat kabar pertama kali terbit di Cina tahun 911, yaitu Kin Pau. Surat Kabar
ini milik pemerintah ketika zaman Kaisar Quang Soo. Tidak berbeda dengan di
Jaman Caesar, Kin Pau berisi keputusan rapat, hasil musyawarah dan berbagai
informasi dari Istana.
Di Eropa tidak jelas siapa pelopor pertamanya. Namun, padi 1605, Abraham
Verhoehn di Antwerpen Belgia mendapat izin mencetak Nieuwe Tihdininghen.
Akhirnya, pada 1617, selebaran ini dapat terbit 8 hingga 9 hari sekali.
Beranjak ke Jerman, di tahun 1609, terbitlah surat kabar pertama bernama Avisa
Relation Order Zeitung. Pada 1618, muncul surat kabar tertua di Belanda bernama
Coyrante uytItalien en Duytschland. Surat kabar ini diterbitkan oleh Caspar
VanHilten di Amsterdam. Kemudian surat kabar mulai bermunculan di Perancis
tahun 1631, di Itali tahun 1636 dan Curant of General newsterbit, surat kabar
pertama di Inggris yang terbit tahun 1662.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M
dengan istilah journalism dan saat itu telah terbit surat kabar dalam bentuk
yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang
dimotori oleh Benjamin Harris (Brend D Ruben, 1992: 22).
Pada abad ke-17 John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat
di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing.
Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi
juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence). Perjuangan John
Milton kemudian diikuti oleh John Erskine pada abad ke-18 dengan karyanya yang
berjudul “The Right of Man”. Pada abad ke-18 ini pula lahir sistem pers liberal
mengantikan sistem pers otoriter.
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara
akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama
Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of
Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya
bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).
Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru
yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan
membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita.
Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam
dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi
menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.
B. Sejarah Jurnalistik di Indonesia
Di Indonesia sendiri, kegiatan dunia jurnalistik sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda. Pada masa-masa sebelum kemerdekaan, jurnalistik malah
dipakai sebagai media propaganda yang sangat efektif dan intelek. ”Pertempuran”
ide atau gagasan lebih leluasa disampaikan secara tertulis melalui media cetak.
Sejak tahun 1930-an sampai 1960-an muncul berbagai terbitan surat kabar dan
majalah, seperti Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, Wasita, Mimbar
Indonesia, Suara Umum, Bintang Timur, Berita Indonesia, Sinar Harapan, Warta
Bakti, Harian Rakyat, dan masih banyak lagi.
Sekarang, perkembangan dunia jurnalistik semakin maju dan modern. Surat kabar
dan majalah bersaing dengan media elektronik, seperti televisi dan internet.
Akses informasi media elektronik tersebut bisa lebih cepat dibanding surat
kabar. Malah, televisi atau radio bisa menyiarkan informasi atau berita tentang
peristiwa yang terjadi secara langsung. Hal ini sulit dilakukan oleh media
cetak.
Beberapa tokoh jurnalistik pun memiliki peran terhadap perkembangan jurnalistik
Indonesia. Setidaknya kita mengenal nama Mochtar Lubis. Dia seorang sastrawan
sekaligus wartawan senior. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi kepala
redaksi Balai Pustaka dan pimpinan majalah Pujangga Baru.
Taufiq Ismail yang menggagas majalah Horison, Adinegoro yang pernah sekolah
jurnalistik di Jerman dan menjadi Pemred Pewarta Deli. Sutomo yang pernah
menerbitkan majalah Suluh Indonesia, Suluh Rakyat Indonesia, dan harian Suara
Umum. Rosihan Anwar yang merupakan wartawan dan penulis senior dan produktif
sampai sekarang.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang.
Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja,
Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak
tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar
hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa.
Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara
dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan
dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan
Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna
Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto.
Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya
organisasi profesi.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi
pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama
sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an.
Tercatat beberapa koran dari
pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti
Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR
membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front
Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan
alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah
Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai
halaman-halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya,
jurnalisme kuning di Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini
masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam
itu.
Teknologi Dalam Jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan
informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam
publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin
cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari
dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna
untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai
digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh
kalangan jurnalis saat itu.
Pada Tahun 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam
pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak
sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat
dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan
dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut
mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur
sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif,
perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan
penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang
redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah
dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks,
foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan
yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia.
Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan
pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka
jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki
media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya
ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki
situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada
juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan
jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan
sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang
berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D
Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan
bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan
media massa dari negara maju seperti AS, Prancis, dan Inggris. Tetapi untuk
saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi–
sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari
Banda Aceh, selang sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu
aliran listrik dan telefon belum tersambung. (Zaky/”PR”).
C. Masa Perkembangan Jurnalistik
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa
peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari
serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama
dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya ”Kabar dari Istana”. Tahun 1351
M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan
oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang
ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa
besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman
hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir
di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang
melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para
pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi
kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford
Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi
London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama
sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M
dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang
modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori
oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis
yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu
membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau
penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat
yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan,
mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat
di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing.
Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi
juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara
akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama
Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of
Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya
bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).
Pada Abad ke18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang
sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan
pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang
dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang
kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil
menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki
era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perpecahan antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga
wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa.
Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang
tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk
profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800an mulai berkembang organisasi kantor berita yang
berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke
berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih
beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris),
dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism
(jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua
koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi
dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional,dan
pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu:
meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring
dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan,
serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang
objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran
bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban
sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk
membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan
pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di
Negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursuskursus jurnalisme pun mulai
banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan
konsepkonsep seperti pemberitaan yang tidak biasa dan dapat
dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
sumber: http://www.google.co.id/