Konsep kerukunan antar umat beragama muncul dengan latar belakang beberapa peristiwa yang menimbulkan konflik antar umat beragama. Berbagai peristiwa konflik muncul pada tahun 1960-an, seperti pendirian gereja oleh umat Kristen di perkampungan miskin di Meulaboh, Aceh Barat.
Banyak kasus lain yang menyulut konflik antara umat Islam dan Kristen, seperti peristiwa di Slipi (Jakarta Barat), di Pulau Banyak (Jakarta), peristiwa Manado, peristiwa Flores, peristiwa Donggo (Kabupaten Bima), dan banyak lagi.
Dari kejadian-kejadian tersebut, pemerintah mengambil inisiatif agar diadakan musyawarah antar agama yang dilaksanakan pada tanggal 30 Nopember 1967. Dalam kesempatan ini, Presiden Soeharto menyatakan, ”Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui, bahwa musyawarah antar agama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di beberapa daerah yang mengarah pada pertentangan agama.”
Musyawarah antar agama ini dihadiri oleh pemuka agama Islam, Protestan, Katolik, Budha dan Hindu. Dalam musyawarah itu, pemerintah mengusulkan dibentuknya Badan Konsultasi Antar Agama dan ditandatangani bersama suatu piagam yang isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.”
Badan Konsultasi Antar Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah tidak dapat menyepakati penandatangangan piagam yang telah diusulkan pemerintah. Pihak Kristen merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil.
Sekalipun begitu, pemerintah mulai tingkat pusat hingga daerah, terus berusaha menumbuhkan saling pengertian atau kerukunan antar umat beragama dan melaukan dialog antar agama yang disponsori Departemen Agama (Depag).
Setelah melalui proses panjang, maka melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 35/1980 tanggal 30 Juni 1980, dibentuklah forum Konsultasi Antar Umat Beragama yang bernama ‘Wadah Musyawarah Umat Beragama’. Keanggotaan wadah ini antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi)
Kerukunan Umat
Melalui berbagai forum yang digelar dalam rangka untuk menjaga relasi harmonis antara elemen umat beragama, maka secara realistis akan dapat membentuk kerukunan antar umat beragama. Kenyataan secara empiris menunjukkan bahwa cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memberikan semangat dan dapat menjadi model bagi kerukunan umat beragama tentunya bukan hanya pepesan kosong. Hal ini sudah membumi. Oleh karena itu, koeksisteni harmonis yang telah terajut di dalam kehidupan masyarakat tentunya harus terus dipelihara. Jangan sampai keinginan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama atau lainnya dapat mengoyak kerukunan yang telah terbina.
Kerukunan umat beragama hakikatnya merupakan inti pembangunan masyarakat. Melalui kerukunan umat beragama ini, maka segala hal yang terkait dengan pembangunan masyarakat akan dapat dilakukan. Secara empiris, bahwa masyarakat Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang sangat panjang dalam merenda kerukunan umat beragama. Modalitas sejarah ini tentunya harus dipertahankan di dalam kerangka untuk membangun masyarakat yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.
Pada era reformasi di mana kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi sedang menuai masa kejayaannya, maka jangan sampai hal tersebut akan menjadikan Indonesia terpecah atau tersegmentasi yang disebabkan oleh menguatnya kepentingan masing-masing kelompok. Islam moderat atau Islam yang menawarkan keselamatan bagi semua kiranya merupakan prototipe bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia di masa yang akan datang.
2011 masih sangat segar, namun terasa membosankan karena selama ini kita disuguhi dengan berbagai macam berita lama. Mulai dari Century yang makin kabur, GayusGate yang menginjak Hukum, sampai TKI yang terkatung-katung. Berita-berita itu menjejali layar kaca tanpa henti, namun herannya, masih saja bikin penasaran meski ujung-ujungnya pasti berakhir kekecewaan, bahkan kadang juga kemarahan.
Nah, baru-baru ini ada berita baru yang tidak kalah membosankan (baca: menyedihkan) dengan berita di atas, yaitu kekerasan berdalih Agama. Kekerasan berdalih Agama sering dihubungkan dengan Ormas tertentu. Sering pula disimpulkan sebagai sarana pengalihan Isu, karena kemunculannya sering bertepatan dengan kasus-kasus besar yang menyenggol kalangan Elit Politik.
Di luar benar atau tidaknya ada yang bermain di balik kasus bentrokan atau kekerasan bermotif Agama ini, kita akan coba uraikan permasalahan yang sering terjadi selama ini. Yuk kita mulai,
1. Rakyat yang menyukai kekerasan
Patut diakui. Semakin hari, rakyat Indonesia semakin sering melakukan kekerasan. Mulai dari Supporter Sepak Bola yang tawuran, Pemain Bola mengeroyok Wasit, Pencinta musik ricuh di tengah Konser, SATPOL PP memberangus Pedagang ‘liar’, sampai Anggota Dewan yang terhormat dan beretika alias Wakil Rakyat gak mau kalah dengan cara adu jotos di ruang Sidang. so sweet banget kan? Jadi, terbukti bahwa kekerasan adalah watak sebagian kecil rakyat Indonesia. Itu pun terjadi pada kasus kekerasan dengan dalih Agama, contohnya kasus Cikeusik.
2. Kurangnya Ketegasan Dalam Penegakan Hukum
Sejauh yang bisa kita amati, penegakan hukum di Negara kita yang tercinta ini masih belum cukup baik. Kasus-kasus besar hanya jadi ajang kampanye dan berujung tanpa kepastian. Orang yang mencuri karena kelaparan langsung dijeblos ke Jeruji, sedangkan Orang yang mencuri untuk menumpuk uang justru dibiarkan pergi ke Bali. Lagi-lagi so sweet banget kan?
Nah, dalam kasus kekerasan berdalih Agama, Penegak Hukum seringkali juga tidak bertindak tegas. Entah karena yang terlibat adalah massa yang sangat banyak, hingga sulit memenjarakan semuanya -ingat penjara kita kan sudah sempit loh-. Atau entah kenapa. Yang pasti semua orang yang terlibat bisa bebas dalam waktu yang singkat. Mungkin ada ..Someone dibalik this case.. tuh kan! Lagi-lagi muncul Prasangka bahwa ada yang bermain di balik semua ini, kita sudah janji lohgak akan bahas itu. Tapi memang bisa jadi kekerasan itu dipelihara agar suatu saat bisa dimunculkan untuk menutupi kasus-kasus fenomenal lainnya. Ih, udah ah, jangan buruk sangka. Kita bicara tentang yang terlihat aja oke?
3. Terkikisnya Cinta dan Rasa sebagai Indonesia
Ini yang paling penting! Rasa Cinta kita terhadap persatuan Indonesia justru sudah mulai pudar. Sesama Indonesia saling lempar batu, baku hantam, sampai tega membunuh pula. Jika saja rasa persaudaraan kita masih lekat, maka kekerasan bisa dihindari. Sebesar apapun perbedaan yang ada, maka akan kalah oleh pesona kasih sayang. Sebesar apapun rasa geram kita, maka cara paling kasar adalah sebuah teguran. Karena yang paling berhak untuk menghukum adalah Penegak hukum, bukan Ormas atau segelintir orang.
4. Lidah Salah Tempat
Posisi MUI, Pemerintah, Aktivis HAM dalam contoh kasus Ahmadiyah.
a. MUI sudah tepat dalam posisinya. Sebagai lembaga tertinggi pembuat Fatwa. Di dalamnya ada Ulama-ulama yang tidak diragukan kemampuan Ilmu Agamanya. Karenanya Fatwa yang menghakimi bahwa Ahmadiyah Sesat dan menyesatkan harus diterima oleh seluruh Umat Islam, jangan kita sangka seakan-akan kita lebih mengerti dari mereka -Baca Qur’an saja masih belepotan plus gak tahu arti, bisa-bisanya tidak setuju dengan Fatwa MUI-. Sikap itu tidak benar kawan!
Para Ulama adalah kepanjangan tangan Nabi, Ilmu agama turun-temurun hingga sampai pada mereka. Lalu ada yang protes “Tapi kan mereka juga manusia!! Bisa aja salah!”, iya, mereka manusia, dan mereka itu lebih baik dari kita.
b. Pemerintah sebagai pembuat Solusi
Pemanasan: Negara kita Indonesia, lalu ada segolongan orang yang mengaku Indonesia juga, tanahnya sama, benderanya sama, tapi Presidennya bukan SBY, terus dasar hukumnya bukan UUD, apa mereka masih Indonesia? tentu bukan. Itulah Ahmadiyah, punya Pegangan selain Al-Qur’an dan punya Nabi setelah Nabi Muhammad, maka banyak umat Islam yang tidak setuju mereka disebut Islam.
Pemanasan: Negara kita Indonesia, lalu ada segolongan orang yang mengaku Indonesia juga, tanahnya sama, benderanya sama, tapi Presidennya bukan SBY, terus dasar hukumnya bukan UUD, apa mereka masih Indonesia? tentu bukan. Itulah Ahmadiyah, punya Pegangan selain Al-Qur’an dan punya Nabi setelah Nabi Muhammad, maka banyak umat Islam yang tidak setuju mereka disebut Islam.
Dari kasus Ahmadiyah ini peranan Pemerintah ada pada pembuatan SKB 3 Menteri. Sudah sangat tepat meski kurang sosialisasi, hingga banyak masyarakat yang tidak tahu. Nah, Peranan pemerintah ini harusnya bisa lebih dari itu. Dari Fatwa MUI tadi Pemerintah harusnya bisa mengambil jalan yang terbaik. Contohnya seperti yang sering kita dengar dan lihat di TV, yaitu jadikan Ahmadiyah sebagai agama baru, atau bubarkan saja. Lalu ada yang bertanya “Kenapa harus sperti itu? kan gak adil buat Ahmadiyah!”, Konflik ini akan berkelanjutan jika hanya mengandalkan selogan “Kebebasan Beragama”, karena Ahmadiyah itu seperti satu tubuh padahal tidak (lebih jelasnya ada di paragraf atas itu). Atau jika Pemerintah ingin mengacuhkan Fatwa MUI, maka Pemerintah punya pilihan lain, yaitu membubarkan MUI dan keberadaan Umat Islam yang tidak setuju dengan Ahmadiyah. Dan tentunya itu akan membuat masalah makin kompleks.
c. Aktivis HAM
Nah, yang satu ini harusnya tetap Fokus pada pelanggaran yang terjadi, bukan pada penghukuman sebuah aliran. Banyak Aktivis HAM yang berpendapat bahwa “Semua orang berhak beragama tanpa paksaan, sesat atau tidak itu hanya Tuhan yang berhak menghakimi.” Tapi mereka tidak melihat dari sisi lain, bahwa “Semua orang juga berhak atas kebenaran Agamanya, dan berhak untuk menjalankannya.” Implikasi dari kalimat yang ke-dua adalah; umat Islam -dalam hal ini adalah kewajiban MUI- berhak untuk menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, dan Umat Islam berhak pula untuk geram (Tapi tidak berhak berbuat anarkis loh!). Jadi, harusnya, Aktivis HAM itu melindungi hak setiap warga untuk memeluk sebuah agama tanpa merusak Agama lain, karena semua agama harus dilindungi. Toeng! itu baru wokeh!
Nah, yang satu ini harusnya tetap Fokus pada pelanggaran yang terjadi, bukan pada penghukuman sebuah aliran. Banyak Aktivis HAM yang berpendapat bahwa “Semua orang berhak beragama tanpa paksaan, sesat atau tidak itu hanya Tuhan yang berhak menghakimi.” Tapi mereka tidak melihat dari sisi lain, bahwa “Semua orang juga berhak atas kebenaran Agamanya, dan berhak untuk menjalankannya.” Implikasi dari kalimat yang ke-dua adalah; umat Islam -dalam hal ini adalah kewajiban MUI- berhak untuk menyatakan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam, dan Umat Islam berhak pula untuk geram (Tapi tidak berhak berbuat anarkis loh!). Jadi, harusnya, Aktivis HAM itu melindungi hak setiap warga untuk memeluk sebuah agama tanpa merusak Agama lain, karena semua agama harus dilindungi. Toeng! itu baru wokeh!
Baik MUI, Pemerintah, ataupun Aktivis HAM, baiknya lebih bijak dalam berkata. Jangan sampai Pemerintah menghakimi Ahmadiyah itu sesat, karena itu tugas MUI, dan MUI yang paling punya kapasitas. Jangan pula MUI berkata akan membubarkan Ahmadiyah, karena yang bertindak itu bagian Pemerintah. Nah yang terakhir, aktivis HAM jangan menghakimi sesat, juga jangan membela kebebasan yang justru melukai kebebasan orang lain.
5. Kurang Saling Kenal
Fanatisme dan kebencian yang terpendam seringkali membuat sebuah latupan menjadi Bom super Dahsyat. Di lidah kita sering berkata cinta, tapi hati berlaku sebaliknya. Nah, harus kita akui, ada dua Umat beragama yang paling sering cek-cok di Negara kita tercinta ini. Yaitu Umat Agama Kristen dengan Muslim.
Banyak Muslim yang membenci Kristiani karena ada segolongan umat kristen yang sering disebut ‘Misionaris’ menyerang Muslim yang lemah dengan segala cara agar masuk Iman Kristen. Umat Islam sangat tidak suka hal ini, karena rasa cinta mereka pada saudara mereka yang seiman. Kebencian mereka sering terpendam dan berbahaya. Padahal hal itu hanya dilakukan oleh sebagian kecil Umat Kristen. di sinilah pentingnya untuk saling kenal.
Banyak Umat Kristen yang membenci Umat Islam karena segolongan Fundamentalis, yang memperjuangkan Negara Islam dan seakan tidak mengakui sumbangsih dan keberadaan Umat Kristen di Bangsa ini. Ada pula yang membenci Islam karena Umat Islam sering tidak menghargai saudara-saudara mereka yang lain. Padahal hal itu hanya dilakukan oleh segelintir Muslim, tidak semuanya. Di sinilah fungsinya saling kenal. Agar Negara kesatuan ini tidak terpecah menjadi dua blok yang bersebrangan hanya karena segelintir orang yang bermusuhan.
Kita harus mulai Dewasa dan sadar, kita ini beragama dan kita ini Indonesia! Biarkan perbedaan itu hadir, namun biarkan pula cinta kita tumbuh. Silahkan berkebebasan dalam beragama, tapi pastikan tidak mengganggu Agama orang lain. Karena dalam kebeasan yang paling bebas pun pasti ada batasan selama kita tidak hidup sendirian.
Mungkin itu sedikit gambaran yang bisa kita dapat dari kerukunan antar Umat Beragama yang ada di Indonesia. 2011 ini semoga jadi tahun yang panjang nan penuh perdamaian. Century dan Gayus semoga segera menemui ending yang happy.